Jakarta, 2 Maret 2025 – Penutupan permanen PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pada 1 Maret 2025 menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional dan menggambarkan situasi krisis yang dihadapi sektor manufaktur Indonesia. Keputusan ini tidak hanya menandai berakhirnya salah satu ikon industri tekstil terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga berdampak luas pada ribuan pekerja, ekonomi daerah, serta kebijakan industri nasional.
Danial F. Lolo, pemerhati masalah sosial dan politik, menyoroti bahwa bangkrutnya Sritex bukan sekadar kegagalan korporasi, melainkan gejala dari lemahnya perlindungan terhadap industri manufaktur lokal. “Kasus Sritex menunjukkan bagaimana tekanan global, serbuan impor murah, serta kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada industri dalam negeri dapat menghancurkan pemain besar sekalipun,” ujar Danial.
Sritex, yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok untuk merek global seperti Zara, Uniqlo, dan H&M, serta seragam militer untuk NATO dan Tentara Jerman, mulai mengalami krisis sejak 2021. Perusahaan ini terbebani utang besar, mencapai Rp29,8 triliun, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi pasar global yang berubah akibat pandemi serta konflik geopolitik. Upaya pemerintah dalam memediasi restrukturisasi utang hingga mencari investor strategis tak mampu menyelamatkan perusahaan yang akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024.
Danial menyoroti bahwa kebijakan industri nasional harus segera dievaluasi untuk mencegah kejatuhan perusahaan-perusahaan manufaktur lainnya. “Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret, bukan hanya insentif sesaat, tetapi kebijakan jangka panjang yang melindungi industri lokal dari serangan barang impor murah dan persaingan tidak sehat,” tegasnya.
Selain itu, dampak sosial dari PHK massal 10.665 karyawan Sritex dan anak perusahaannya di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang harus menjadi perhatian serius. “Kita bicara tentang ribuan keluarga yang kehilangan sumber penghasilan. Pemerintah harus memastikan hak-hak pekerja terpenuhi dan menyiapkan program pemulihan ekonomi lokal yang nyata,” tambahnya.
Sebagai langkah ke depan, Danial menegaskan pentingnya reformasi di sektor manufaktur. “Jika kasus Sritex tidak dijadikan pelajaran, kita bisa melihat kejatuhan perusahaan besar lainnya di masa depan. Ini bukan hanya tentang satu perusahaan, tetapi tentang keberlanjutan industri nasional,” pungkasnya.
Danial F. Lolo adalah pemerhati masalah sosial dan politik yang aktif mengkritisi kebijakan ekonomi serta dampaknya terhadap masyarakat. Dengan fokus pada isu ketenagakerjaan, industri, dan perlindungan ekonomi rakyat, ia terus mengadvokasi kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan nasional.(Sam)